
Foto Ilustrasi Seorang wanita menggandeng dua pria di pelaminan.(Dok:NI)
Probolinggo, newsIndonesia.id- Fenomena perempuan yang mengalami kawin-cerai berulang kerap dipandang sebagai persoalan pribadi atau sekadar drama asmara. Namun, dari sudut pandang psikologi, pola tersebut tidak selalu lahir dari keputusan emosional sesaat. Ada dinamika batin, luka emosional yang belum pulih, hingga cara pandang terhadap relasi yang belum matang, yang kerap menjadi latar belakangnya.
Para psikolog menilai, ini bukan soal memberi label atau tuduhan, melainkan membaca pola yang berulang pada sebagian individu hubungan yang terbentuk dengan cepat, diikuti pernikahan yang tergesa, lalu berakhir dalam waktu singkat.
Salah satu ciri yang kerap muncul adalah membangun hubungan bukan atas dasar cinta yang matang, melainkan ketakutan akan kesepian. Perempuan dengan pola ini umumnya merasa tidak nyaman hidup sendiri. Rasa sepi dan kekosongan membuat mereka merasa lebih “bernilai” ketika memiliki pasangan, sehingga keputusan menikah sering diambil terburu-buru demi mendapatkan validasi emosional.
Ciri berikutnya adalah ketertarikan pada hubungan dengan intensitas tinggi. Pada fase awal, relasi terasa penuh gairah, manis, dan dramatis. Namun ketika hubungan mulai stabil dan tidak lagi dipenuhi gejolak emosi, muncul rasa bosan dan keraguan terhadap komitmen. Pikiran bahwa telah “salah memilih pasangan” pun muncul, memicu siklus jatuh cinta cepat, menikah cepat, kecewa cepat, lalu berakhir dengan perceraian.
Dari sisi psikologi perkembangan, pola kawin-cerai juga kerap dikaitkan dengan attachment yang tidak sehat. Pengalaman masa kecil seperti tumbuh di keluarga yang tidak stabil, sering menyaksikan konflik orang tua, atau kehilangan figur ayah maupun ibu, dapat membentuk persepsi rapuh terhadap makna komitmen. Pola tersebut kemudian terbawa hingga dewasa dan terulang dalam hubungan pernikahan.
Selain itu, impulsivitas dalam mengambil keputusan emosional menjadi faktor lain. Pernikahan maupun perceraian kerap diputuskan saat emosi memuncak marah, kecewa, atau terluka tanpa pertimbangan rasional yang matang. Ketika rasa sepi kembali datang, keinginan membangun hubungan baru pun muncul, mengulang siklus yang sama.
Sebagian perempuan juga menjadikan hubungan sebagai bagian dari identitas diri. Memiliki pasangan baru dianggap dapat meningkatkan harga diri dan citra sosial. Namun, para ahli menilai hal ini sering kali hanya menjadi pelarian dari luka emosional yang belum disembuhkan, bukan kebutuhan relasi yang sehat.
Minimnya keterampilan resolusi konflik turut memperparah keadaan. Dalam hubungan dewasa, konflik adalah hal wajar. Namun pada individu dengan pola kawin-cerai berulang, perbedaan pendapat sering disikapi dengan keputusan ekstrem, bukan dialog atau upaya mencari solusi bersama.
Tak kalah penting, trauma emosional yang belum tuntas baik akibat hubungan toksik, kekerasan dalam relasi sebelumnya, maupun pengalaman keluarga yang tidak harmonis membuat seseorang sulit mempercayai bahwa hubungan yang stabil dapat bertahan lama.
Para psikolog menegaskan, perempuan dengan pola kawin-cerai bukan berarti tidak menginginkan hubungan yang stabil. Justru sebaliknya, banyak di antara mereka mendambakan kestabilan, namun secara psikologis belum siap menjalaninya.
Hubungan yang sehat menuntut kedewasaan emosional, kemampuan komunikasi, toleransi terhadap perbedaan, serta kesiapan menghadapi perubahan bukan semata romantisme atau sensasi cinta sesaat.
(Opini)